•Author : yuiayumisakurai
•Main casts : Aragaki Yui sebagai Aragaki Rhea, Lee Taemin sebagai Lee Zey.
•Ad players : Lee Jinki (Onew) sebagai Lee Jinki, ayah Zey. Kim Keybum sebagai Keyra, ibu Zey. Choi Minho sebagai Choi Minho.
•Genre : Sad-Comedy Romantic.
•Disclaimer : Koizora (photos only)
•Soundtrack: Hope Is A Dream That Doesn't Sleep Sung by Kyuhyun Super Junior
•Sinopsis :
Argaki Rhea (Aragaki Yui) adalah seorang mahasiswi kedokteran asal Jepang yang sedang mengikuti kuliah di Jonan University, Jepang. Dia tinggal di Tokyo sendirian dan untuk menghidupi hidupnya sehari-hari, dia harus bekerja paruh waktu di sebuah apotek di dekat tempat tinggalnya. Suatu hari, dia bertemu dengan seorang laki-laki yang mempunyai tata bahasa Jepang yang kaku dan pertemuan mereka diawali saat laki-laki tersebut meminjam uangnya. Terpesona oleh ketampanan laki-laki tersebut, dengan mudah Rhea mengeluarkan dompetnya dan hendak meminjami uang pada laki-laki tersebut, tapi tanpa disangka laki-laki tersebut tak lain adalah seorang penipu. Namun dibalik pertemuan tersebut, ada sebuah kisah baru yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Kisah apakah itu?
Aku adalah waktu. Aku bisa saja bertindak sebagai penyembuh luka yang tidak bisa disembuhkan oleh obat-obat terbaru sekalipun. Aku menyembuhkan luka yang disebut luka batin. Orang-orang kerap sangat menghargaiku karena mereka sangat bergantung pada tiap detik yang kupunya. Tetapi tak sedikit yang memusuhiku karena aku dituduh telah menghilangkan kenangan mereka yang juga bagian dari diriku yaitu masa lalu, ataupun ketakutan akan sesuatu yang belum pasti yang juga bagian dari diriku dan kusebut itu masa depan. Sayangnya, aku tak berhak memihak pada siapapun. Aku hanya boleh terus bergulir.
Meskipun demikian, ada sebuah kisah manusia yang mengelitik minatku untuk bercerita kepada kalian. Kisah ini tentang seorang gadis dari peradaban milenium yang sangat bergantung padaku.
Apa kau tahu semakin kau menyadari tiap detik yang kau lalui, maka semakin lambat bumi itu terasa berputar? Kau akan percaya usai menamatkan kisah yang akan kututurkan ini. Ah ya, kisah klasik ini adalah milik seorang gadis yang namanya sama dengan putri Dewi Bumi sendiri yaitu Rhea.
Meskipun demikian, ada sebuah kisah manusia yang mengelitik minatku untuk bercerita kepada kalian. Kisah ini tentang seorang gadis dari peradaban milenium yang sangat bergantung padaku.
Apa kau tahu semakin kau menyadari tiap detik yang kau lalui, maka semakin lambat bumi itu terasa berputar? Kau akan percaya usai menamatkan kisah yang akan kututurkan ini. Ah ya, kisah klasik ini adalah milik seorang gadis yang namanya sama dengan putri Dewi Bumi sendiri yaitu Rhea.
Kisah ini dimulai tatkala teriknya mentari membuat seorang gadis, dalam angannya, ingin menyalahi aturan kosmos dengan mempercepat waktu edar Bumi dan menjadikannya malam saat itu juga. Panas yang dipancarkan mentari tersebut menyengat kulitnya, membuat beberapa bulir keringat membasahi dahinya. Kakinya yang mungil kontan membawa langkahnya ke bawah pohon sakura yang rindang, namun tetap saja, sensasi panasnya tetap terasa.
Gadis bernama Rhea itu sedang menunggu tumpangan sebuah bis kampus yang akan membawanya kembali ke peraduan. Dia kemudian merogoh kantong tasnya, mencari sebotol air mineral guna menghilangkan sensasi pahit dan kering di mulutnya. Tetapi belum sempat ia meneguk air itu, seseorang mengalihkan perhatiannya.
“Halo, Nona!” sapa seorang laki-laki bertubuh jangkung. Rhea celingukan, melihat ke sekelilingnya yang ternyata kosong. Dia menoleh ke arah si pemanggil dan kemudian mengeryitkan dahi. Dia tak yakin mengenal laki-laki itu.
“Kau memanggilku?” tanya gadis itu. Laki-laki jangkung tersebut tertawa kecil.“Memangnya aku terlihat berpantomim atau berbicara dengan pohon, Nona?” laki-laki itu berusaha berkelakar. Si gadis yang diajak bercanda mundur perlahan, merasa gelisah. Bahasa Jepang laki-laki itu sedikit kaku, sedikit dipaksakan.
“Apa aku mengenalmu?” gadis itu bertanya untuk memastikan.
“Tidak, tidak. Kau mungkin tak mengenalku, tapi aku bisa mengenalmu jika kau mau memberitahu siapa namamu,” kata laki-laki itu tampak sopan.
Bingo! Modus baru dalam berkenalan rupanya, gadis itu menebak.
“Lebih sopan jika kau yang duluan memberitahu namamu!” si gadis tak mau mengalah.
“Baiklah, Nona. Singkat saja. Nama saya Zey. Saya orang baru di sini. Saya kekurangan uang untuk membayar perjalanan pulang saya sementara saya harus tiba di Narita (nama bandara di Jepang-red) setengah jam lagi. Kau lihat di ujung sana, taksi itu yang sedang menunggu saya. Tolong pinjami saya uang, Nona,” laki-laki itu tampak memelas. Dilema, Rhea pun berada di antara kondisi ingin meminjami uang ataupun tidak. Di satu sisi, gadis itu sendiri hidupnya serba pas-pasan. Dia anak rantauan yang mengandalkan gaji kerja paruh waktunya. Namun, di satu sisi, ia merasa iba. Terlebih si laki-laki tersebut memancarkan feromon yang amat dasyat sehingga kilaunya tak kuasa dia tolak.
Akhirnya Rhea takluk dengan pesona si laki-laki tampan tersebut. Ia mengeluarkan dompetnya seraya berharap kondisi keuangannya yang melarat bisa berubah menjadi konglomerat jika dia berbuat dharma dengan membantu laki-laki tersebut. Gadis itu kemudian merogoh kembali saku tas ranselnya dan mengeluarkan sebuah dompet.
“Berapa uang yang kau perlu?” tanyanya. Baru beberapa detik dompet itu keluar dari tasnya, dompet tersebut sudah lenyap tak berbekas, disabet si laki-laki dengan sejuta feromon. Dan dalam beberapa detik lainnya, laki-laki itu sudah berada di sebuah taksi, melambaikan tangannya seraya tersenyum ke arah si gadis. Senyum yang tak akan pernah gadis itu lupakan.
Ya ampun, tadi modus baru dalam pencurian rupanya. Astaga, masa aku jatuh cinta pada penipu?
Saking bingung dan kaget dengan kejadian yang baru saja menimpanya, gadis itu sampai tak sempat berteriak minta tolong. Hanya botol air yang ada di genggamannya saja terlepas dari pegangannya, menggelinding menandakan keterkejutan dan ketidakberdayaannya. Lagi-lagi, sebutir keringat menetes dari dahinya.
Ya ampun, tadi modus baru dalam pencurian rupanya. Astaga, masa aku jatuh cinta pada penipu?
Saking bingung dan kaget dengan kejadian yang baru saja menimpanya, gadis itu sampai tak sempat berteriak minta tolong. Hanya botol air yang ada di genggamannya saja terlepas dari pegangannya, menggelinding menandakan keterkejutan dan ketidakberdayaannya. Lagi-lagi, sebutir keringat menetes dari dahinya.
Waktupun bergulir dan sudah mencapai satu bulan pasca insiden penipuan yang ia alami, Rhea akhirnya berangsur-angsur bisa pulih dari kemalangannya. Tetapi, bukan alasan baginya untuk melupakan insiden tersebut. Akibatnya, dia selalu waspada terhadap kondisi sekitar.
Sore jam 3, Rhea dengan sepedanya kembali menyusuri jalan yang biasa dia lalui menuju apotek tempatnya bekerja paruh waktu. Sudah setahun dia bekerja di Apotek Byoikikiso. Takut terlambat Rhea mempercepat kayuhan sepedanya di sebuah jalanan yang sepi, meskipun itu dalam keadaan menikung. Namun, keseimbangan gadis itu tiba-tiba oleng sepeda yang ia kendarai menabrak mobil di tikungan tersebut. Rhea jatuh tersungkur sementara pengendara mobil bertabrakan dengannya membantunya bangkit. Rhea meringis kesakitan memegang lututnya yang berdarah.
“Maafkan saya, Nona. Saya tadi tidak memperhatikan jalan karena mencari alamat seseorang,” kata seorang laki-laki sambil membantu Rhea berdiri. Rhea menatap ke arah laki-laki itu namun tak dapat melihat wajahnya karena pandangannya terhalang oleh jangkungnya tubuh laki-laki itu.
“Kau baik-baik saja, Nona?” tanya laki-laki itu lagi, tampak cemas, kini ia membungkuk sehingga Rhea dengan jelas melihat wajahnya yang tak mungkin ia lupakan.
“KAU!”Rhea menggeram. “KEMBALIKAN DOMPETKU!”
Merasa diteriaki, laki-laki itu terlonjak kaget.
“Ah, rupanya kau, Nona!” laki-laki itu memasang senyuman lega, sungguh respon yang tak terduga “Aku mencari alamatmu, Nona. Tak kusangka kita bertemu di sini,” laki-laki itu dengan ekspresif menjabat tangan Rhea. Rhea segera melepaskan genggaman tangan laki-laki tersebut. Ingin rasanya gadis itu menggigit tangan laki-laki tersebut, namun niat tersebut diurungkannya dengan mempertimbangkan harga dirinya.
“Ini dompetmu, Nona! Masih utuh. Uangnya pun sudah kukembalikan,” laki-laki itu salah tingkah melihat sikap acuh perempuan dihadapannya. Tanpa basa-basi Rhea menyambar dompet coklat miliknya kemudian berusaha menegakkan sepedanya yang masih tersungkur. Dengan gesit, si laki-laki berusaha membantu Rhea, tapi Rhea memberi isyarat agar dia tidak diganggu. Hebatnya laki-laki tersebut tidak juga jera mendapat tatapan sinis dari Rhea. Dia justru mengusik Rhea dengan cara yang amat berisik, mulai dari tawarannya memberi tumpangan di mobilnya, hingga tawaran mengantarnya dengan sepeda. Rhea yang dibuatnya jengkel mengangkat sebelah alisnya dan menatap mata lelaki itu tajam, seolah memancarkan aura membunuh. Seketika laki-laki itu terdiam.
Rhea pun akhirnya berusaha menaiki sepedanya, lututnya gemetar karena lukanya cukup parah. Dasar laki-laki pembawa sial, rutuknya dalam hati. Belum puas dia mengumpat dia kemudian tersungkur kembali karena kakinya yang tak kuat mengayuh pedal sepedanya.
Dengan sigap laki-laki tersebut menyelamatkan perempuan tersebut dari benturan dengan tiang listrik. Di luar dugaan, skenario yang terjadi selanjutnya adalah, Rhea dibonceng paksa oleh laki-laki yang sempat mencuri dompetnya tersebut.
“Jangan harap aku akan merasa berhutang budi padamu!” Rhea mencibir kesal.
“Tidak akan, Nona. Aku bukan orang yang gila hormat. Hahaha,” laki-laki tersebut terbahak seraya mempercepat kayuhan sepedanya. Rhea yang berada di kursi boncengan merasa was-was dibonceng laki-laki itu, dan kekhawatirannya agaknya terbukti. Sepeda yang mereka naiki sempat terguncang akibat ngebut di jalan yang penuh lubang dan mereka hampir saja jatuh. Saking takutnya Rhea tanpa sadar memegang erat pinggang laki-laki tersebut.
Percayalah ini bukan kejadian dari salah satu adegan melodrama yang sedang diputar di televisi. Ini adalah awal kisah cinta yang klasik di antara keduanya.
“Kau baik-baik saja, Nona?” tanya laki-laki itu lagi, tampak cemas, kini ia membungkuk sehingga Rhea dengan jelas melihat wajahnya yang tak mungkin ia lupakan.
“KAU!”Rhea menggeram. “KEMBALIKAN DOMPETKU!”
Merasa diteriaki, laki-laki itu terlonjak kaget.
“Ah, rupanya kau, Nona!” laki-laki itu memasang senyuman lega, sungguh respon yang tak terduga “Aku mencari alamatmu, Nona. Tak kusangka kita bertemu di sini,” laki-laki itu dengan ekspresif menjabat tangan Rhea. Rhea segera melepaskan genggaman tangan laki-laki tersebut. Ingin rasanya gadis itu menggigit tangan laki-laki tersebut, namun niat tersebut diurungkannya dengan mempertimbangkan harga dirinya.
“Ini dompetmu, Nona! Masih utuh. Uangnya pun sudah kukembalikan,” laki-laki itu salah tingkah melihat sikap acuh perempuan dihadapannya. Tanpa basa-basi Rhea menyambar dompet coklat miliknya kemudian berusaha menegakkan sepedanya yang masih tersungkur. Dengan gesit, si laki-laki berusaha membantu Rhea, tapi Rhea memberi isyarat agar dia tidak diganggu. Hebatnya laki-laki tersebut tidak juga jera mendapat tatapan sinis dari Rhea. Dia justru mengusik Rhea dengan cara yang amat berisik, mulai dari tawarannya memberi tumpangan di mobilnya, hingga tawaran mengantarnya dengan sepeda. Rhea yang dibuatnya jengkel mengangkat sebelah alisnya dan menatap mata lelaki itu tajam, seolah memancarkan aura membunuh. Seketika laki-laki itu terdiam.
Rhea pun akhirnya berusaha menaiki sepedanya, lututnya gemetar karena lukanya cukup parah. Dasar laki-laki pembawa sial, rutuknya dalam hati. Belum puas dia mengumpat dia kemudian tersungkur kembali karena kakinya yang tak kuat mengayuh pedal sepedanya.
Dengan sigap laki-laki tersebut menyelamatkan perempuan tersebut dari benturan dengan tiang listrik. Di luar dugaan, skenario yang terjadi selanjutnya adalah, Rhea dibonceng paksa oleh laki-laki yang sempat mencuri dompetnya tersebut.
“Jangan harap aku akan merasa berhutang budi padamu!” Rhea mencibir kesal.
“Tidak akan, Nona. Aku bukan orang yang gila hormat. Hahaha,” laki-laki tersebut terbahak seraya mempercepat kayuhan sepedanya. Rhea yang berada di kursi boncengan merasa was-was dibonceng laki-laki itu, dan kekhawatirannya agaknya terbukti. Sepeda yang mereka naiki sempat terguncang akibat ngebut di jalan yang penuh lubang dan mereka hampir saja jatuh. Saking takutnya Rhea tanpa sadar memegang erat pinggang laki-laki tersebut.
Percayalah ini bukan kejadian dari salah satu adegan melodrama yang sedang diputar di televisi. Ini adalah awal kisah cinta yang klasik di antara keduanya.
“Hei, Nona, jalanannya sudah stabil, kau boleh melepaskan pinggangku, aku susah mengayuh sepeda nih,” ucap laki-laki itu dengan nada serius yang dibuat-buat. Wajah Rhea memerah saking malunya, refleks melepaskan pegangannya.
“Hahaha, aku bercanda kok Nona Aragaki Rhea. Kau boleh berpegangan hingga kita sampai di tempat tujuan,” laki-laki itu tertawa lagi. Rhea masih terdiam, membuat laki-laki itu semakin penasaran dengan gadis di hadapannya.
“Kau tahu namaku?” tanya Rhea setengah marah. Entah kenapa dia enggan namanya diketahui laki-laki itu.
“Aku juga tahu kau adalah mahasiswi kedokteran dan suka sekali buku,” laki-laki tersebut menebak.
“Bagaimana kau tahu?”Rhea mengernyitkan alisnya.
“Karena aku ini detektif! Hahaha,” lagi-lagi laki-laki tersebut menjawab asal.
“Aha, pasti tak susah mencari tahu semua info itu setelah mengobrak-abrik dompet orang ya?” Rhea menyindir. “Lagipula kenapa bahasa Jepangmu aneh sekali?” tanya Rhea ketus.
“Jangan marah, Nona. Aku harus melakukannya demi mencari alamatmu. Aku benar-benar minta maaf atas kejadian tempo hari karena aku harus segera kembali ke Korea saat itu. Maaf juga baru bisa mengembalikan dompetmu sekarang karena urusanku di Jakarta baru bisa kuselesaikan kemarin sore,” laki-laki itu minta maaf dengan tulus.
“Kau orang yang sibuk ya,” Rhea malah menyindirnya lagi.
“Hahaha. Ahya, masalah bahasa Jepangku, sangat buruk ya? Aku bukan orang Jepang sih. Appa-ku orang Korea dan Omma-ku orang Inggris. Aku ke sini untuk melakukan tugas rahasia” Zey tersenyum.
“Paling-paling kau ke Jepang hanya untuk menipu orang sepertiku,” Rhea menjawab ketus.
“Jangan terlalu membenciku, Nona. Nanti kau bisa jatuh cinta padaku!” kata laki-laki tersebut tanpa beban mengucapkan kelakarnya.
“Tak akan pernah!” jawab Rhea ketus.
“Ohya, Nona. Namamu cantik sekali, seperti wajahmu,” kata Zey. Rupanya Zey tak perlu waktu lama untuk memenangkan hati gadis itu karena Rhea tanpa sadar akhirnya ikut tersipu senang atas pujian tersebut.
“ Ah ya, dulu kau bilang siapa namamu?” tanya Rhea sembari mengalihkan perhatian.
“ Lee Z-E-Y, Zey!” ujar laki-laki tersebut mantap “Mendiang ibuku juga pecinta buku sepertimu, Nona. Karena cintanya pada sebuah novel berjudul Odyssey karya Homer maka dia menamaiku Zey, diambil dari kata Ody-S-S-E-Y-nya. Lagipula nama ibuku Keyra, jadi nama kami jadi mirip ZEY dan KEY Sedikit memaksa, tapi harus kuakui itu sangat kreatif, hahaha. Sebenarnya aku lebih suka nama Taemin sih, Taemin itu idolaku! Hahaha” laki-laki itu tanpa canggung menceritakan sejarah namanya. Rhea tersenyum kecil melihat tingkah laku laki-laki tersebut.
Memangnya siapa sih Taemin? pikir Rhea
Zey mengerem sepedanya seraya membantu Rhea menuruni sepeda tersebut.
“Terima kasih,” ucap Rhea sambil menahan bibirnya agar tidak terlalu melengkungkan senyumannya. Dia masih agak gengsi.
“Sama-sama, Nona,” balas Zey seraya memerkan deretan giginya yang putih di antara lengkungan bibirnya yang membentuk senyuman. Laki-laki itu menjauh seraya melambaikan tangannya.
“Rhea! Panggil aku Rhea!” teriak Rhea tiba-tiba.“Aku tak akan memaafkanmu untuk kedua kalinya jika kelak kita berjumpa, kau tetap memanggilku nona!”
Zey mengacunkan jempol kanannya ke udara kemudian kelingkingnya, membentuk gerakan seolah menggenggam ponsel, sedangkan tangan kirinya memegang dompet miliknya lalu menunjuk ke arah Rhea. Rhea menyipitkan mata, bingung sebentar kemudian otaknya menangkap isyarat yang disampaikan Zey. Dia kemudian merogoh saku tasnya, mengambil dompet dan membukannya. Di antara beberapa uang kertas miliknya terselip sebuah kertas hijau yang berisikan nomor telepon.
Ini modus baru cara bertukar nomor ponselkah? Rhea menggeleng tak berani menyimpulkan. Tapi kali ini kesimpulannya benar karena tak perlu waktu 2x24 jam, mereka sudah saling kirim pesan singkat.
“Sudah kuduga kau pasti akan meng-sms-ku kurang dari satu minggu. Tak kusangka kau akan meng-sms-ku hari ini,” itu isi pesan singkat dari Zey.
“Apa yang membuatmu begitu yakin?” balas Rhea.
“Sudah pasti karena aku tampan dan kau sudah jatuh hati padaku. Hahaha” balas Zey.
Berawal dari bertukar nomor ponsel, hubungan mereka akhirnya berlanjut hingga saling telepon dan akhirnya berjanji saling bertemu di sebuah perpustakaan. Butuh waktu sebulan agar membuat mereka kembali bertemu dan akhirnya duduk bersebelahan tanpa ada caci maki dan emosi.
“Sudah kuduga kaulah yang akan meminta kita bertemu lagi,” kata Rhea memulai pembicaraan. Namun Zey hanya menunduk dan berusaha mengalihkan pandangannya dari Rhea. Rhea bingung, takut Zey merasa salah paham akibat omongannya yang bersifat ambigu, antara menyindir atau bercanda. Maka Rhea pun akhirnya meminta maaf.
“Zey, maaf aku tak bermaksud menyindir, aku hanya...” belum selesai Rhea mengucapkan kalimatnya tiba-tiba Zey menciumnya. Rhea hanya bisa terbelalak.
“Apa yang kau laku...”
“Apa kau pernah dengar istilah seal with a kiss?” tanya Zey.
“Maksudmu aku terlalu banyak bicara sehingga kau terpaksa menutup mulutku dengan ciumanmu?” Rhea bingung harus menempatkan emosinya yang campur aduk antara malu, marah sekaligus senang. Dia akui, dia tidak hanya bersimpati pada laki-laki itu, dia bisa dibilang telah jatuh cinta pada pandangan pertama, meskipun pertemuan awal mereka cukup ‘menegangkan’.
“Jadilah pacarku!” kata Zey tiba-tiba. Suaranya yang berfrekuensi rendah terdengar menggema di telinga Rhea, membuatnya ingin disadarkan bahwa dia tidak bermimpi. Sayangnya ruangan baca perpustakaan di sana benar-benar sepi, membuatnya masih tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.
“Diam artinya ‘iya’ lho!” lanjut Zey.
“Jangan memutuskan seenaknya!” wajah Rhea bersemu merah.
“Kalau begitu kuhitung sampai sepuluh. Satu, sepuluh! Rhea Sarasvati, selamat kau resmi menjadi pacar si tampan Zey Radheya!” Zey tampak sumringah.
“Kau tak bisa berhitung ya? Hahaha,” Rhea tak bisa menahan tawanya melihat tingkah konyol Zey.
“Ngomong-ngomong soal berhitung. Berapa umurmu sekarang?” tanya Zey.
“Dua puluh,” jawab Rhea singkat.
“Hmm, kalau begitu usia kita hanya terpaut tiga tahun,” Zey bergumam ada dirinya sendiri.
“Jadi umurmu 23 tahun, Oom Zey?” canda Rhea.
“Ah, bukan, bukan. Aku lupa mulai minggu depan usia kita hanya terpaut dua tahun. Karena minggu depan aku berulang tahun yang ke-18 tahun,” Zey nyengir.
“Apa?”
Itu hanya sebagian kecil kejutan yang diberikan Zey pada Rhea. Masih banyak kejutan-kejutan lain yang membuat Rhea semakin jatuh cinta padanya, seperti saat kejadian ulang tahun Zey yang ke -18 tahun.
“Kau mau apa untuk hadiah ulang tahunmu, Odyssey? Aku tak bisa memberimu barang mewah, bocah kaya!” kata Rhea melalui telepon genggam.
“Hmm, baiklah. Kalau begitu aku minta apel sebagai hadiah ulang tahunku,” jawab Zey.
“Hanya itu?” tantang Rhea.
“Kau mau memberikan sesuatu yang lebih mahal untuk bocah kaya ini?” sindir Zey diiringi tawanya. Rhea menghela nafas merasa kalah.
“Baiklah, sampai jumpa nanti di pantai biasa!” kata Rhea.
“Eh, tunggu!” cegat Zey.
“Apa lagi? Aku harus bekerja sekarang,” ujar Rhea “Kau tidak tiba-tiba menginginkan sesuatu yang mahal untuk kado ulang tahunmu kan?”
“Ah, bukan itu. Apa kau tahu Rhea adalah putri dewi Gaia (dewi Bumi)?” tanya Zey dengan aksen serius.
“Kau menahanku hanya untuk mengatakan hal ini?” tanya Rhea agak malas.
“Bukan. Aku cuma mau bilang aku sayang kamu,” gombalnya Zey sedang kumat membuat Rhea terdiam seribu bahasa, namun mampu membuat rona merah di pipinya menjalar hingga telinga.
Debur pantai saat malam ulang tahun Zey sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Janji yang terucap malam ini akan tersamar seiring berjalannya waktu. Kelak, makna janji yang terucap malam ini akan mengubah hidup seseorang dan juga terkuak seiring perjalananku, sang waktu.
“Selamat ulang tahun Zey. Ini hadiah ulang tahunmu. Ayo buat satu permohonan!” ucap Rhea seraya menyodorkan sebuah apel pada Zey sementara dia mengeluarkan sebuah apel lain dari saku jaketnya.
“Coba kemarikan apelmu,” pinta Zey. Rhea menurut kemudian menyodorkan apel merah miliknya. Dalam waktu sepersekian detik apel tersebut sudah berpindah tangan dan Zey sudah berhasil menggerogotinya.
“Zey! Kau kan sudah punya apel sendiri. Kenapa kau makan apelku?”Rhea nampak bingung.
“Itu permohonan ulang tahunku. Aku harap selama aku hidup kau tak boleh makan apel!”
“Kenapa begitu?”
“Karena apel itu lambang racun. Kamu lupa cerita putri salju, ya? Nanti kau mati seusai menggigit apel itu. Jika pangeran tampan sepertiku yang makan, apelnya tak akan beracun,” Zey memasang tampang super serius. Rhea tidak menanggapi omongan itu serius tapi untuk saat itu dia hanya bisa tertawa dan menurut omongan kekasihnya untuk tidak makan apel.
Maka seperti kisah-kisah lainnya kisah cinta klasik abad milenium milik Rhea ini pun mempunyai klimaks seiring perjalananku. Zey tiba-tiba memutuskan hubungan yang mereka bina tak kurang dari setahun. Tanpa alasan yang bisa merujuk atas penyebab apapun, Rhea tak mampu mengubah alurku, tapi dia tak berusaha menanyakan alasan mengapa Zey harus memutuskan hubungan mereka yang tanpa cela. Rhea hanya menarik kesimpulan pribadi bahwa dia memang tidak pantas untuk Zey yang terlalu sempurna di matanya, bahkan ia tak pernah tahu alasan mengapa Zey pernah menjadi kekasihnya selama setahun. Dia terlalu takut untuk tahu alasannya.
Saat ini, ingin rasanya aku menghentikan perjalananku kemudian mematahkan idealisme dua insan tersebut. Tetapi jika kulakukan hal itu, kisah ini tak akan pernah terjadi. Maka kubiarkan kisah ini mengalir dulu tanpa campur tanganku. Aku yakin kesalahpahaman ini akan kuluruskan, tapi nanti.
Maka kepersingkat cerita ini dan tiba waktuku untuk mengungkap rahasia masa lalu tersebut. Aku sudah membiarkan lebih dari 365 hari bergulir agar membuat si tokoh utama, Rhea memberanikan diri untuk menanyakan alasan mengapa dia harus putus dengan Zey dulu.
“Halo,” kata tersebut terucap pertama dari percakapan lewat telepon.
“Zey…” itu adalah kata pertama yang Rhea ucapkan sekaligus kata yang paling ia rindukan untuk diucapkan.
“Maaf, ini ayah Zey,” jawab laki-laki seberang.
“Oh, bisa saya bicara dengan Zey, Oom?” tanya Rhea. Aneh, padahal dia menghubungi ponsel
milik Zey, bukan telepon rumahnya.
“Ini siapa?” tanya orang seberang yang mengaku ayah Zey.
“Saya Rhea, Ahjussi.”
Hening sejenak. Pembicaran antara Rhea dan Lee Jinki, ayah Zey kemudian berlanjut hingga Rhea akhirnya tahu alasan mengapa Zey dulu memutuskannya dulu. Alasan yang dia terima membuatnya harus segera bertolak ke rumah sakit di Jakarta dengan mengandalkan semua tabungannya.
Tok tok tok, suara pintu diketuk.
“Masuklah!” kata suara dari dalam kamar “Appa kaukah itu?”
“Ini aku, Rhea.”
“Rhea, kenapa kau ada di sini?”
“Ssst, jangan banyak bergerak. Kudengar kau baru saja melakukan transplantasi ginjal,” kata Rhea.
“Kau pasti mendengar dari appa,” Zey tersenyum getir “Mianhae Rhea-ah, aku tak bermaksud menyakitimu, hanya saja aku tak akan tahan membendung air mataku tiap kali melihatmu dan kusadari aku hanya sesosok laki-laki tak berguna. Ingin rasanya bertanya pada Tuhan mengapa aku mewarisi gen buruk yang juga merenggut nyawa ibuku,” Zey dan Rhea sama-sama tak bisa membendung air mata mereka.
“Mungkin ibuku seharusnya memberiku nama Adonis,” lanjut Zey tiba-tiba “…kau tahu kenapa?”
Rhea menggeleng.
“Karena kisah cintanya mirip denganku. Kami sama-sama memiliki kekasih yang sangat cantik, hanya saja gadis miliknya bernama Aphrodite dan kekasihku satu-satunya yang pernah kumiliki hanya kau, Rhea.”
Itu adalah kisah terakhir yang Rhea dengar dari Zey. Tak lebih dari seminggu Zey kembali pada bumi pertiwi. Satu-satunya ginjal yang baru saja ditransplantasikan untuknya mengalami kerusakan akibat serangan antibodinya sendiri. Zey menitipkan sebuah pena bersama secarik kertas yang berisi pesan: Pasangan Buku Hanyalah Pena.
Hati Rhea remuk redam. Saat itu baru dia mulai merutukiku. Dia ingin mengembalikan masa lalu dan mengulang semuanya. Tetapi tak kubiarkan gadis tersebut merutukiku dalam keadaan salah paham. Karena jika saja kesalahpaham tersebut diluruskan dan dia melihat sisikehidupan dari sudut pandang berbeda, dia kan menyadari bahwa ‘cinta sejati tak pernah diukur dengan waktu, karena cinta sejati tak akan pernah mati’.
Maka suatu ketika Rhea pun akhirnya ingin mencoba menggoreskan tinta pena yang Zey berikan, untuk menulis kisah cinta sejatinya tersebut. Namun yang pena yang diberikan Zey ternyata bukanlah pena untuk menulis, setelah ia telusuri di dalamnya terdapat secarik kertas lagi yang berukuran sangat kecil.
“Hahaha, aku bercanda kok Nona Aragaki Rhea. Kau boleh berpegangan hingga kita sampai di tempat tujuan,” laki-laki itu tertawa lagi. Rhea masih terdiam, membuat laki-laki itu semakin penasaran dengan gadis di hadapannya.
“Kau tahu namaku?” tanya Rhea setengah marah. Entah kenapa dia enggan namanya diketahui laki-laki itu.
“Aku juga tahu kau adalah mahasiswi kedokteran dan suka sekali buku,” laki-laki tersebut menebak.
“Bagaimana kau tahu?”Rhea mengernyitkan alisnya.
“Karena aku ini detektif! Hahaha,” lagi-lagi laki-laki tersebut menjawab asal.
“Aha, pasti tak susah mencari tahu semua info itu setelah mengobrak-abrik dompet orang ya?” Rhea menyindir. “Lagipula kenapa bahasa Jepangmu aneh sekali?” tanya Rhea ketus.
“Jangan marah, Nona. Aku harus melakukannya demi mencari alamatmu. Aku benar-benar minta maaf atas kejadian tempo hari karena aku harus segera kembali ke Korea saat itu. Maaf juga baru bisa mengembalikan dompetmu sekarang karena urusanku di Jakarta baru bisa kuselesaikan kemarin sore,” laki-laki itu minta maaf dengan tulus.
“Kau orang yang sibuk ya,” Rhea malah menyindirnya lagi.
“Hahaha. Ahya, masalah bahasa Jepangku, sangat buruk ya? Aku bukan orang Jepang sih. Appa-ku orang Korea dan Omma-ku orang Inggris. Aku ke sini untuk melakukan tugas rahasia” Zey tersenyum.
“Paling-paling kau ke Jepang hanya untuk menipu orang sepertiku,” Rhea menjawab ketus.
“Jangan terlalu membenciku, Nona. Nanti kau bisa jatuh cinta padaku!” kata laki-laki tersebut tanpa beban mengucapkan kelakarnya.
“Tak akan pernah!” jawab Rhea ketus.
“Ohya, Nona. Namamu cantik sekali, seperti wajahmu,” kata Zey. Rupanya Zey tak perlu waktu lama untuk memenangkan hati gadis itu karena Rhea tanpa sadar akhirnya ikut tersipu senang atas pujian tersebut.
“ Ah ya, dulu kau bilang siapa namamu?” tanya Rhea sembari mengalihkan perhatian.
“ Lee Z-E-Y, Zey!” ujar laki-laki tersebut mantap “Mendiang ibuku juga pecinta buku sepertimu, Nona. Karena cintanya pada sebuah novel berjudul Odyssey karya Homer maka dia menamaiku Zey, diambil dari kata Ody-S-S-E-Y-nya. Lagipula nama ibuku Keyra, jadi nama kami jadi mirip ZEY dan KEY Sedikit memaksa, tapi harus kuakui itu sangat kreatif, hahaha. Sebenarnya aku lebih suka nama Taemin sih, Taemin itu idolaku! Hahaha” laki-laki itu tanpa canggung menceritakan sejarah namanya. Rhea tersenyum kecil melihat tingkah laku laki-laki tersebut.
Memangnya siapa sih Taemin? pikir Rhea
Zey mengerem sepedanya seraya membantu Rhea menuruni sepeda tersebut.
“Terima kasih,” ucap Rhea sambil menahan bibirnya agar tidak terlalu melengkungkan senyumannya. Dia masih agak gengsi.
“Sama-sama, Nona,” balas Zey seraya memerkan deretan giginya yang putih di antara lengkungan bibirnya yang membentuk senyuman. Laki-laki itu menjauh seraya melambaikan tangannya.
“Rhea! Panggil aku Rhea!” teriak Rhea tiba-tiba.“Aku tak akan memaafkanmu untuk kedua kalinya jika kelak kita berjumpa, kau tetap memanggilku nona!”
Zey mengacunkan jempol kanannya ke udara kemudian kelingkingnya, membentuk gerakan seolah menggenggam ponsel, sedangkan tangan kirinya memegang dompet miliknya lalu menunjuk ke arah Rhea. Rhea menyipitkan mata, bingung sebentar kemudian otaknya menangkap isyarat yang disampaikan Zey. Dia kemudian merogoh saku tasnya, mengambil dompet dan membukannya. Di antara beberapa uang kertas miliknya terselip sebuah kertas hijau yang berisikan nomor telepon.
Ini modus baru cara bertukar nomor ponselkah? Rhea menggeleng tak berani menyimpulkan. Tapi kali ini kesimpulannya benar karena tak perlu waktu 2x24 jam, mereka sudah saling kirim pesan singkat.
“Sudah kuduga kau pasti akan meng-sms-ku kurang dari satu minggu. Tak kusangka kau akan meng-sms-ku hari ini,” itu isi pesan singkat dari Zey.
“Apa yang membuatmu begitu yakin?” balas Rhea.
“Sudah pasti karena aku tampan dan kau sudah jatuh hati padaku. Hahaha” balas Zey.
Berawal dari bertukar nomor ponsel, hubungan mereka akhirnya berlanjut hingga saling telepon dan akhirnya berjanji saling bertemu di sebuah perpustakaan. Butuh waktu sebulan agar membuat mereka kembali bertemu dan akhirnya duduk bersebelahan tanpa ada caci maki dan emosi.
“Sudah kuduga kaulah yang akan meminta kita bertemu lagi,” kata Rhea memulai pembicaraan. Namun Zey hanya menunduk dan berusaha mengalihkan pandangannya dari Rhea. Rhea bingung, takut Zey merasa salah paham akibat omongannya yang bersifat ambigu, antara menyindir atau bercanda. Maka Rhea pun akhirnya meminta maaf.
“Zey, maaf aku tak bermaksud menyindir, aku hanya...” belum selesai Rhea mengucapkan kalimatnya tiba-tiba Zey menciumnya. Rhea hanya bisa terbelalak.
“Apa yang kau laku...”
“Apa kau pernah dengar istilah seal with a kiss?” tanya Zey.
“Maksudmu aku terlalu banyak bicara sehingga kau terpaksa menutup mulutku dengan ciumanmu?” Rhea bingung harus menempatkan emosinya yang campur aduk antara malu, marah sekaligus senang. Dia akui, dia tidak hanya bersimpati pada laki-laki itu, dia bisa dibilang telah jatuh cinta pada pandangan pertama, meskipun pertemuan awal mereka cukup ‘menegangkan’.
“Jadilah pacarku!” kata Zey tiba-tiba. Suaranya yang berfrekuensi rendah terdengar menggema di telinga Rhea, membuatnya ingin disadarkan bahwa dia tidak bermimpi. Sayangnya ruangan baca perpustakaan di sana benar-benar sepi, membuatnya masih tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.
“Diam artinya ‘iya’ lho!” lanjut Zey.
“Jangan memutuskan seenaknya!” wajah Rhea bersemu merah.
“Kalau begitu kuhitung sampai sepuluh. Satu, sepuluh! Rhea Sarasvati, selamat kau resmi menjadi pacar si tampan Zey Radheya!” Zey tampak sumringah.
“Kau tak bisa berhitung ya? Hahaha,” Rhea tak bisa menahan tawanya melihat tingkah konyol Zey.
“Ngomong-ngomong soal berhitung. Berapa umurmu sekarang?” tanya Zey.
“Dua puluh,” jawab Rhea singkat.
“Hmm, kalau begitu usia kita hanya terpaut tiga tahun,” Zey bergumam ada dirinya sendiri.
“Jadi umurmu 23 tahun, Oom Zey?” canda Rhea.
“Ah, bukan, bukan. Aku lupa mulai minggu depan usia kita hanya terpaut dua tahun. Karena minggu depan aku berulang tahun yang ke-18 tahun,” Zey nyengir.
“Apa?”
Itu hanya sebagian kecil kejutan yang diberikan Zey pada Rhea. Masih banyak kejutan-kejutan lain yang membuat Rhea semakin jatuh cinta padanya, seperti saat kejadian ulang tahun Zey yang ke -18 tahun.
“Kau mau apa untuk hadiah ulang tahunmu, Odyssey? Aku tak bisa memberimu barang mewah, bocah kaya!” kata Rhea melalui telepon genggam.
“Hmm, baiklah. Kalau begitu aku minta apel sebagai hadiah ulang tahunku,” jawab Zey.
“Hanya itu?” tantang Rhea.
“Kau mau memberikan sesuatu yang lebih mahal untuk bocah kaya ini?” sindir Zey diiringi tawanya. Rhea menghela nafas merasa kalah.
“Baiklah, sampai jumpa nanti di pantai biasa!” kata Rhea.
“Eh, tunggu!” cegat Zey.
“Apa lagi? Aku harus bekerja sekarang,” ujar Rhea “Kau tidak tiba-tiba menginginkan sesuatu yang mahal untuk kado ulang tahunmu kan?”
“Ah, bukan itu. Apa kau tahu Rhea adalah putri dewi Gaia (dewi Bumi)?” tanya Zey dengan aksen serius.
“Kau menahanku hanya untuk mengatakan hal ini?” tanya Rhea agak malas.
“Bukan. Aku cuma mau bilang aku sayang kamu,” gombalnya Zey sedang kumat membuat Rhea terdiam seribu bahasa, namun mampu membuat rona merah di pipinya menjalar hingga telinga.
Debur pantai saat malam ulang tahun Zey sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Janji yang terucap malam ini akan tersamar seiring berjalannya waktu. Kelak, makna janji yang terucap malam ini akan mengubah hidup seseorang dan juga terkuak seiring perjalananku, sang waktu.
“Selamat ulang tahun Zey. Ini hadiah ulang tahunmu. Ayo buat satu permohonan!” ucap Rhea seraya menyodorkan sebuah apel pada Zey sementara dia mengeluarkan sebuah apel lain dari saku jaketnya.
“Coba kemarikan apelmu,” pinta Zey. Rhea menurut kemudian menyodorkan apel merah miliknya. Dalam waktu sepersekian detik apel tersebut sudah berpindah tangan dan Zey sudah berhasil menggerogotinya.
“Zey! Kau kan sudah punya apel sendiri. Kenapa kau makan apelku?”Rhea nampak bingung.
“Itu permohonan ulang tahunku. Aku harap selama aku hidup kau tak boleh makan apel!”
“Kenapa begitu?”
“Karena apel itu lambang racun. Kamu lupa cerita putri salju, ya? Nanti kau mati seusai menggigit apel itu. Jika pangeran tampan sepertiku yang makan, apelnya tak akan beracun,” Zey memasang tampang super serius. Rhea tidak menanggapi omongan itu serius tapi untuk saat itu dia hanya bisa tertawa dan menurut omongan kekasihnya untuk tidak makan apel.
Maka seperti kisah-kisah lainnya kisah cinta klasik abad milenium milik Rhea ini pun mempunyai klimaks seiring perjalananku. Zey tiba-tiba memutuskan hubungan yang mereka bina tak kurang dari setahun. Tanpa alasan yang bisa merujuk atas penyebab apapun, Rhea tak mampu mengubah alurku, tapi dia tak berusaha menanyakan alasan mengapa Zey harus memutuskan hubungan mereka yang tanpa cela. Rhea hanya menarik kesimpulan pribadi bahwa dia memang tidak pantas untuk Zey yang terlalu sempurna di matanya, bahkan ia tak pernah tahu alasan mengapa Zey pernah menjadi kekasihnya selama setahun. Dia terlalu takut untuk tahu alasannya.
Saat ini, ingin rasanya aku menghentikan perjalananku kemudian mematahkan idealisme dua insan tersebut. Tetapi jika kulakukan hal itu, kisah ini tak akan pernah terjadi. Maka kubiarkan kisah ini mengalir dulu tanpa campur tanganku. Aku yakin kesalahpahaman ini akan kuluruskan, tapi nanti.
Maka kepersingkat cerita ini dan tiba waktuku untuk mengungkap rahasia masa lalu tersebut. Aku sudah membiarkan lebih dari 365 hari bergulir agar membuat si tokoh utama, Rhea memberanikan diri untuk menanyakan alasan mengapa dia harus putus dengan Zey dulu.
“Halo,” kata tersebut terucap pertama dari percakapan lewat telepon.
“Zey…” itu adalah kata pertama yang Rhea ucapkan sekaligus kata yang paling ia rindukan untuk diucapkan.
“Maaf, ini ayah Zey,” jawab laki-laki seberang.
“Oh, bisa saya bicara dengan Zey, Oom?” tanya Rhea. Aneh, padahal dia menghubungi ponsel
milik Zey, bukan telepon rumahnya.
“Ini siapa?” tanya orang seberang yang mengaku ayah Zey.
“Saya Rhea, Ahjussi.”
Hening sejenak. Pembicaran antara Rhea dan Lee Jinki, ayah Zey kemudian berlanjut hingga Rhea akhirnya tahu alasan mengapa Zey dulu memutuskannya dulu. Alasan yang dia terima membuatnya harus segera bertolak ke rumah sakit di Jakarta dengan mengandalkan semua tabungannya.
Tok tok tok, suara pintu diketuk.
“Masuklah!” kata suara dari dalam kamar “Appa kaukah itu?”
“Ini aku, Rhea.”
“Rhea, kenapa kau ada di sini?”
“Ssst, jangan banyak bergerak. Kudengar kau baru saja melakukan transplantasi ginjal,” kata Rhea.
“Kau pasti mendengar dari appa,” Zey tersenyum getir “Mianhae Rhea-ah, aku tak bermaksud menyakitimu, hanya saja aku tak akan tahan membendung air mataku tiap kali melihatmu dan kusadari aku hanya sesosok laki-laki tak berguna. Ingin rasanya bertanya pada Tuhan mengapa aku mewarisi gen buruk yang juga merenggut nyawa ibuku,” Zey dan Rhea sama-sama tak bisa membendung air mata mereka.
“Mungkin ibuku seharusnya memberiku nama Adonis,” lanjut Zey tiba-tiba “…kau tahu kenapa?”
Rhea menggeleng.
“Karena kisah cintanya mirip denganku. Kami sama-sama memiliki kekasih yang sangat cantik, hanya saja gadis miliknya bernama Aphrodite dan kekasihku satu-satunya yang pernah kumiliki hanya kau, Rhea.”
Itu adalah kisah terakhir yang Rhea dengar dari Zey. Tak lebih dari seminggu Zey kembali pada bumi pertiwi. Satu-satunya ginjal yang baru saja ditransplantasikan untuknya mengalami kerusakan akibat serangan antibodinya sendiri. Zey menitipkan sebuah pena bersama secarik kertas yang berisi pesan: Pasangan Buku Hanyalah Pena.
Hati Rhea remuk redam. Saat itu baru dia mulai merutukiku. Dia ingin mengembalikan masa lalu dan mengulang semuanya. Tetapi tak kubiarkan gadis tersebut merutukiku dalam keadaan salah paham. Karena jika saja kesalahpaham tersebut diluruskan dan dia melihat sisikehidupan dari sudut pandang berbeda, dia kan menyadari bahwa ‘cinta sejati tak pernah diukur dengan waktu, karena cinta sejati tak akan pernah mati’.
Maka suatu ketika Rhea pun akhirnya ingin mencoba menggoreskan tinta pena yang Zey berikan, untuk menulis kisah cinta sejatinya tersebut. Namun yang pena yang diberikan Zey ternyata bukanlah pena untuk menulis, setelah ia telusuri di dalamnya terdapat secarik kertas lagi yang berukuran sangat kecil.
Sayangku, Aphrodite. Aku tahu waktuku tak akan lama, maka dari itu aku menulis surat ini hanya untuk mempersiapkan kemungkinan terburuk yang mungkin akan menimpaku. Aku menulis surat ini karena aku tak bisa mengungkapkannya langsung padamu. Aku pengecut ya?
Maafkan juga aku yang terlalu egois memintamu untuk tidak pernah makan apel, setidaknya selama aku masih hidup. Tentu kau tahu aku berbohong mengenai nenek sihir yang ada pada kisah Putri Salju. Tetapi sejujurnya yang membuatku takut adalah mitos mengenai Adam dan Hawa. Apa kau tahu mereka dulunya di ciptakan oleh Tuhan bukan sebagai pasangan? Tetapi karena Hawa telah memakan buah apel yang konon merupakan buah kecerdasan, maka manusia sejak saat itu bisa merasakan berbagai macam emosi seperti cinta, marah, sedang maupun sedih. Aku hanya tidak mau kau akan sedih atau menyesal pernah mengenalku.
Terakhir, terima kasih telah memberi sejuta warna dalam hidup dan kisah cintaku. Aku sayang padamu, Rhea.
Rhea menitikan air mata dan menangis sekencang-kencangnya. Tak pernah ia membaca surat termanis sekaligus mengharukan seperti itu sebelumnya. Mungkin surat itu akan menjadi surat cinta terindah dalam hidupnya, surat cinta yang membuka pikirannya dan membuat dirinya untuk menghargai hidupnya, maupun melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.
Tujuh tahun pun berlalu pasca kematian Zey. Kini Rhea telah berhasil mencapai gelar magisternya di bidang ilmu pengetahuan, khususnya biokimia. Kali ini akan kuceritakan antiklimaks yang akan menjadi penutup dalam kisah yang singkat ini, saat Rhea berdiri sebagai narasumber dalam sebuah seminar ilmiah. Dia dipilih atas keberhasilannya dalam mengungkap manfaat apel bagi kecerdasan otak di sebuh symposium di Korea. Maka dalam sesi tanya jawab seseorang bertanya dengan nada yang terkagum-kagum,
“Dok, nama saya Choi Minho, mahasiswa semester tujuh ingin bertanya untuk sekedar referensi agar saya terpacu melakukan penelitian yang inovatif. Apa latar belakang Anda menampilkan manfaat buah apel? Mengapa bukan buah semangka atau buah lainnya?”
Sebagian penonton ada yang tertawa mendengar pertanyaan tersebut namun sebagian ada yang mengangguk tanda menginginkan jawaban dari Rhea yang tersenyum mendengar pertanyaan itu dilontarkan.
“Minho-ssi, apa kau pernah mendengar mitos Adam dan Hawa?” tanya Rhea. Yang ditanya dibuat bingung, demikian hadirin lainnya. Tapi Minho akhirnya mengangguk agak ragu.
“Apa kau tahu dalam mitos itu buah apel merupakan buah kecerdasan?” Rhea mengakhiri pertanyaan mahasiswanya dengan pertanyaan lain, membuat semua hadirin tersenyum mendengar jawaban tak terduga darinya.
Nah, Zey, aku akan menyebarkan lebih banyak cinta lagi di dunia. Akan kubuktikan rasa cintaku ini tak akan pernah membuatku menyesal untuk mengenalmu, apalagi mencintaimu.
Maafkan juga aku yang terlalu egois memintamu untuk tidak pernah makan apel, setidaknya selama aku masih hidup. Tentu kau tahu aku berbohong mengenai nenek sihir yang ada pada kisah Putri Salju. Tetapi sejujurnya yang membuatku takut adalah mitos mengenai Adam dan Hawa. Apa kau tahu mereka dulunya di ciptakan oleh Tuhan bukan sebagai pasangan? Tetapi karena Hawa telah memakan buah apel yang konon merupakan buah kecerdasan, maka manusia sejak saat itu bisa merasakan berbagai macam emosi seperti cinta, marah, sedang maupun sedih. Aku hanya tidak mau kau akan sedih atau menyesal pernah mengenalku.
Terakhir, terima kasih telah memberi sejuta warna dalam hidup dan kisah cintaku. Aku sayang padamu, Rhea.
Rhea menitikan air mata dan menangis sekencang-kencangnya. Tak pernah ia membaca surat termanis sekaligus mengharukan seperti itu sebelumnya. Mungkin surat itu akan menjadi surat cinta terindah dalam hidupnya, surat cinta yang membuka pikirannya dan membuat dirinya untuk menghargai hidupnya, maupun melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.
Tujuh tahun pun berlalu pasca kematian Zey. Kini Rhea telah berhasil mencapai gelar magisternya di bidang ilmu pengetahuan, khususnya biokimia. Kali ini akan kuceritakan antiklimaks yang akan menjadi penutup dalam kisah yang singkat ini, saat Rhea berdiri sebagai narasumber dalam sebuah seminar ilmiah. Dia dipilih atas keberhasilannya dalam mengungkap manfaat apel bagi kecerdasan otak di sebuh symposium di Korea. Maka dalam sesi tanya jawab seseorang bertanya dengan nada yang terkagum-kagum,
“Dok, nama saya Choi Minho, mahasiswa semester tujuh ingin bertanya untuk sekedar referensi agar saya terpacu melakukan penelitian yang inovatif. Apa latar belakang Anda menampilkan manfaat buah apel? Mengapa bukan buah semangka atau buah lainnya?”
Sebagian penonton ada yang tertawa mendengar pertanyaan tersebut namun sebagian ada yang mengangguk tanda menginginkan jawaban dari Rhea yang tersenyum mendengar pertanyaan itu dilontarkan.
“Minho-ssi, apa kau pernah mendengar mitos Adam dan Hawa?” tanya Rhea. Yang ditanya dibuat bingung, demikian hadirin lainnya. Tapi Minho akhirnya mengangguk agak ragu.
“Apa kau tahu dalam mitos itu buah apel merupakan buah kecerdasan?” Rhea mengakhiri pertanyaan mahasiswanya dengan pertanyaan lain, membuat semua hadirin tersenyum mendengar jawaban tak terduga darinya.
Nah, Zey, aku akan menyebarkan lebih banyak cinta lagi di dunia. Akan kubuktikan rasa cintaku ini tak akan pernah membuatku menyesal untuk mengenalmu, apalagi mencintaimu.
-Tamat-
Mohon Komentarnya ya dan masukan agar FF ini jadi lebih baik ke depannya. Gomawo yo.Ohya, bagi pecinta FF ikuti juga lomba FF yang diselenggarakan dari bulan Februari-Maret 2011. Dapatkan informasi lebih lengkap di SINI!
3 ♥♥♥:
yux, ma speechless mo ngritik bagian mana alna uda perfect banget!!! so ma ngomenin bagian yang ma suka ajah yax!
1. ma suka sudut pandang ceritanya, keliatan beda alna pake "waktu" sebagai sudut pandang ceritanya
2. dialognya lucu, ringan nd pinter ngegombal, ho2!
3. benang merahnya dapet banget, alna dari apel yang diambil dari cerita putri salju, adam nd hawa ampe endingnya dia bisa dapet gelar tu gara2 nyelidikin tentang apel, hax2!
yang kurang ma suka apa yax? bingung... alna ma suka ceritanya kaya yang ma bilang di atas... hmmm, coba judulnya dicari yang da kata "waktu" misalnya, sepenggal kisah waktu, seutuh kisah hati *loh? ko jadi norak ya yux? hax2!*, coba ajah penyakit tu cowok dicariin penyakit yang lebih mematikan nd jarang orang tahu biar lebih heboh lagi... tapi segitu ja udah bagus seh... ohya, namanya dibiarin ajah, gasah diubah alna uda bagus maknanya... kirimin dah yux... ni ketentuannya ke story...
imel: Story_magazine@yahoo.com
Subject: cerpen romantis
isiin di bawah cerpen:
NAMA PENULIS
ALAMAT
NO HP/TELEPON
FOTO
BIODATA
HAYO YUK!!! BURUAN! BAGUS TU CERPEN U YUX!
Ini adalah kisah cinta yang sangat sedih :-0
so sweet
Post a Comment
Your comment is just like oxygen!